Kalau kau menyayangi seseorang, katakanlah bahwa kau menyayanginya agar ia tahu betapa berharganya dia untukmu.
Kalau kau merindukan seseorang, katakanlah bahwa kau merindukannya agar ia tahu bahwa keberadaanya selalu kau inginkan.
Katakanlah apa yang kau rasakan lewat kata - kata dan tindakan.
Karena perbuatan cintamu akan selalu memiliki arti baginya.
Jangan pendam cinta untuk diri sendiri karena itu menyakitkan.
Menyakitkan ketika ia sudah pergi tanpa tahu ada orang yang peduli padanya.
Yang tertinggal hanya penyesalan karena rasa yang dipendam sendirian.
Ketika SMP, aku tidak memiliki teman sebangku. Semua teman yang aku kenal sudah memiliki teman sebangkunya sendiri. Sampai akhirnya ada seseorang yang mau menemaniku. Rambutnya merah keriting, matanya sendu, dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Dia seharusnya menjadi kakak kelasku tapi dia harus tinggal kelas dan sekelas denganku. Awalnya aku meremehkannya dan memilih teman lain yang menurutku lebih pintar darinya. Tapi menurutku yang lain palsu, mereka tidak tulus berteman denganku. Terkesan aku yang mengikuti mereka tapi mereka tidak mau memahami pendapatku.
Dengan terpaksa pun aku dekat dengannya. Namanya Eve. Setahun lebih tua dariku tentu saja. Selain dengannya, aku juga dekat dengan anak lain yaitu Jessica dan Kezia. Kami selalu duduk berempat depan belakang. Semakin lama aku mengenalnya, aku mulai memahami Eve. Orangnya sederhana dan tidak sombong meski sedikit pemalas memang dengan dandanan yang lusuh dan tatanan rambut acak - acakan.
Setahun sudah aku berteman dengannya. Tapi, setahun dengannya itu aku menjadi orang yang jahat. Terkadang aku meninggalkannya duduk sendirian ketika aku ingin menemani temanku yang lain. Ya, dia sendirian. Tapi dengan sabarnya dia menungguku. Ketika dia ingin duduk dengan anak lain, aku merengek tidak mau sendirian dan dia mengalah untuk menemaniku. Egois memang diriku. Sangat egois. Terkadang aku juga memilih meninggalkannya demi temanku yang menurutku "lebih" kaya dan pintar. Tapi ketika aku sadar mereka tidak tulus padaku, aku kembali padanya dan dia menerimaku.
Akhirnya aku naik kelas dan sekarang aku kelas 9 sehingga tidak lagi sekelas dengan Eve. Ada perasaan senang dan lega karena aku tidak lagi dengannya. Menurutku Eve terlalu sederhana dan aku berpikir dia tidak "seasik" teman yang lain. Meski begitu, aku dan Eve masih sering pulang bersama naik angkot. Aku sering seangkot dengannya meski akhirnya aku turun duluan. Aku masih dekat dengannya tapi hanya saat pulang sekolah. Selebihnya aku memilih temanku yang lain.
Di bulan Agustus, Eve berubah. Dia seperti tidak mengenalku dan aku tidak tahu kenapa. Ketika aku memanggilnya saat bertemu dengannya di tangga sekolah, wajahnya terlihat bingung dan dari wajahnya aku bisa menebak pertannyaan di pikirannya yang bingung pada sosokku. Aku bertanya - tanya apa yang salah denganku. Tapi aku tidak merasa sesuatu yang salah dalam diriku. Tapi akhirnya aku menganggap itu hanya kebetulan karena mungkin ada hal lain yang dipikirkannya sehingga ia kaget pada sapaanku.
Setelah kejadian itu, ia makin aneh dan menghindariku yang membuatku makin tidak mengerti. Aku bertanya pada Jessica dan Kezia dan mereka merasa hal yang sama. Tapi kami tidak terlalu ambil pusing. Aku bertanya pada Eve dan dia berjanji suatu saat akan menjelaskan padaku.
Di bulan September, Eve mengajakku berbicara empat mata tentang perubahan sikapnya. Dan yang aku heran, ia mengenalkan dirinya sebagai sosok yang berbeda. Dia bilang dia punya kembaran dan orang yang aku temui tempo hari adalah kembarannya sehingga tidak mengenalku. Tentu saja aku tidak percaya pada ceritanya karena terlalu janggal. Yang aku heran, kenapa dia membuat cerita seperti itu. Dan waktu bicara denganku, tatapan matanya kosong. Aku takut melihatnya, sangat takut. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya karena aku tidak peduli sehingga ketika dia bertanya padaku apa percaya padanya, aku menjawab dengan enggan bahwa aku percaya meskipun hatiku bilang tidak.
Tiba suatu hari, aku masih ingat kalau aku harus pulang sore dan dia pun demikian. Akhirnya aku pulang dengan Eve. Hari itu dia terlihat sungguh aneh dan manja padaku. Ia mengulur - ulur waktu pulang dan mengajakku ngobrol panjang lebar sehingga kepulangan kami tertunda. Aku kesal padanya karena banyak angkot yang sebenarnya bisa kami tumpangi tapi dilewatkannya dengan berbagai alasan. Tidak biasanya dia seperti itu karena dia bukan tipe pemilih. Aku semakin kesal dan menanggapi semua ceritanya dengan ketus. Ia berusaha mengajakku ngobrol lebih banyak dan aku hanya bisa marah - marah. Aku lelah seharian dengan kegiatan di sekolah dan ingin istirahat di rumah tapi dia menghambatnya. Akhirnya karena emosiku, aku naik angkot yang lain yang tidak sejurusan dengannya. Kutinggalkan dia sendirian disana. Kulihat matanya yang masih tetap sendu dan kesedihan di wajahnya tapi tidak kupedulikan. Ada sedikit rasa bersalah memang tapi aku diam.
Esoknya aku datang ke sekolah seperti biasa tapi rupanya ada yang tidak biasa di sekolah. Suasana hening dan guru - guru yang biasanya tersenyum berjalan di lorong sekolah berubah raut wajahnya menjadi muram. Aku tersentak kaget mendengar cerita temanku. Aku ingin menangis tapi tidak bisa karena aku sulit mempercayainya. Dia tidak ada lagi disini. Sosok mata sendu dengan rambut merah keritingnya sudah tidak ada. Kakak yang sabar menghadapi keegoisanku sudah pergi. Orang yang terakhir kutemui itu pergi meninggalkanku. Untuk pertama kalinya dia meninggalkanku.
Hey! Aku tidak percaya ini. Mana mungkin orang yang beberapa jam lalu masih ngobrol denganku itu pergi. Sampai akhirnya guruku masuk kelas dan memberitakan pengumuman itu. Katanya Eve punya penyakit asma dan saat ia pulang dari sekolah, asmanya kumat dan ia sendirian di rumah sehingga tidak ada yang memberi pertolongan. Aku kaget karena aku yang setahun lebih berteman dengannya pun tidak tahu penyakitnya. Aku sama sekali tidak tahu ia punya sakit asma. Aku merasa aku ini egois sekali saat itu. Dia begitu peduli padaku tapi aku tidak peduli padanya.
Pagi itu juga aku Jessica dan Kezia dipanggil ke ruang BK. Terlihat Jessica dan Kezia menangis tak hentinya sedangkan aku, air mataku tidak mengalir sama sekali. Aku tidak tahu kenapa aku tidak menangis padahal temanku yang baru sekelas dengannya di kelas 9 pun menangis langsung mendengar kabar itu. Aku merasa aku tidak punya hati. Akhirnya aku buat diriku menangis hanya karena aku sungkan pada guruku dan temanku di ruang BK itu. Tapi itu bukan ketulusan. Aku sadar itu bukan ketulusan tapi aku berpura - pura. Mungkin aku adalah aktor yang baik dalam situasi ini. Aku berpura - pura kuat dan menghibur temanku yang lain tapi itu hanya siasatku karena aku tidak merasa kehilangan seperti mereka.
Sampai akhirnya aku melayat ke rumahnya dengan teman - temanku. Aku sadar dia berbohong tentang kembarannya karena di rumahnya aku tidak melihat sosok yang mirip dengannya. Aku melewati batu nisan yang bertuliskan namanya dengan tanggal lahirnya dan tanggal hari itu. Aku melihat badannya yang terbujur kaku tapi masih dengan senyum di wajahnya. Aku tidak tahu harus berkata apa tapi yang kupikirkan hanya "cantik". Setelah waktu yang kita lewati, baru hari itu aku melihat wajah cantiknya karena biasanya dia berpenampilan kusam, lusuh dan tidak beraturan tatanan rambutnya.
Ketika aku keluar dari rumahnya, aku melihat ada beberapa wartawan. Aku tidak tahu apa yang membuat para wartawan tertarik dengan meninggalnya temanku ini sampai akhirnya aku mendengar pembicaraan temanku yang mengatakan bahwa wartawan itu menduga kematian Eve diakibatkan bunuh diri. Bunuh diri dengan menggantung dirinya karena kesulitan membayar uang sekolah yang sudah berbulan - bulan menunggak. Aku lemas karena kagetnya. Apalagi ini, fakta apa lagi yang tidak aku tahu. Aku yang mengenalnya lebih lama dan selalu pulang dengannya tidak tahu masalahnya. Padahal aku selalu memintanya membantu menyelesaikan masalahku.
Aku pulang dengan banyak pikiran. Aku tidak mau ikut mengantar Eve sampai kuburannya karena aku merasa tidak layak mengantar kepergiannya. Aku pulang dengan banyak pertanyaan di pikiranku. Aku hanya diam dan mengenang saat - saat aku dengannya. Apa yang kita bicarakan terutama saat terakhirnya. Aku tidak tahu kenapa dia begitu manja dan ingin bicara banyak denganku di sore itu. Aku tidak tahu pada perubahan sikapnya dan kebohongannya padaku. Aku tidak sadar pada tatapan terakhirnya memandangku dengan sorot mata kesedihan yang seolah - olah ingin berkata padaku bahwa ia kesepian dan butuh aku.
Esoknya lagi, berita tentang kematiannya muncul di TV dan surat kabar dengan judul "Siswa SMP gantung diri". Hatiku bergetar membaca judul itu. Ada sesuatu bergejolak dalam hatiku. Rasa bersalah, penyesalan, sedih dan lainnya berkecamuk dan menjadi satu sehingga air mataku mulai turun. Aku bahkan tidak tahu dia meninggal karena pilihannya atau kehendak Tuhan.
Ya. Waktu itu hatiku dingin sedingin es. Aku ini makhluk yang tidak bisa mengucap syukur pada malaikat yang ada di dekatku yaitu Eve. Aku tidak peduli padanya, pada masalahnya dan hanya peduli pada masalahku. Bahkan aku tidak punya fotonya meski pada saat itu sudah ada handphone yang memiliki kamera dan hanya memiliki fotonya dalam katalog sekolah. Aku tidak perhatian ketika ia sakit dan menyuruh temanku yang lain mengantarnya ke UKS karena aku takut ketinggalan penjelasan guruku. Dia yang sering dijahili anak lainnya karena kelatahannya yang menjadi bahan tertawaan dan aku tidak pernah sekalipun membelanya meski ia pernah hampir jatuh dan lemas karena terus - terusan kaget.
Kini, aku merasa kehilangan. Aku tidak pernah sadar aku menyayanginya. Dan penyesalanku yang masih kurasakan adalah aku tidak punya kesempatan mengatakan dan menujukkan perasaan itu padanya.
Aku menyayangimu Eve. Terima kasih sudah menjadi temanku yang baik dan tulus. Semoga Tuhan menerimamu. Aku tidak tahu dengan cara apa kamu pergi, tapi aku berharap kamu tenang di tempat barumu. Maaf atas semua sikap dan penolakanku. Aku menyesal dan biarkan aku hidup dengan rasa ini untuk menebus kesalahanku.